Tiga Lapis Almamater Hijau

June 28, 2014

Tiga Lapis Almamater Hijau
(Sebuah Cerita dibalik Ospek)
Oleh Adil Abdillah
Gelap. Hitam mati. Tak ada setitik cahaya pun.
        Disinilah kami merebahkan badan ini setelah seharian penuh menjalani agenda Bakti Sosial Jurusan SOSIOLOGi FISIP Universitas Syiah Kuala yang setiap tahunnya diadakan. Ruang yang berukuran kurang lebih 6 x 7 meter ini nampaknya tidak dapat menampung jumlah kami. Kami tidur dalam posisi berlaga kepala beradu kaki, sebagian dari kami langsung terlelap, namun masih ada yang belum tidur termasuk aku. Suara bisik saling bergantian, kadang sesekali terdengar gelak pecah canda tawa, namun sepertinya sang algojo alias Kakak Mentor tidak suka gelak kami dan dia membelah gelak kami menjadi keheningan hanya dengan sekali aungannya saja. Yaitu dengan tiga huruf ajaibnya yang dapat membuat kami terdiam spontan yang huruf itu tak lain adalah “W.O.Y”.
        Ruang ini mulai membisu, tak ada lagi terdengar suara yang tadinya saling berbisik, mungkin teman-teman yang lain sudah terlelap semua. Atau mungkin terdiam sebab takut kepada pemilik tiga huruf tadi. Kucoba memejamkan mata ini, tapi tak jua berhasil, suara binatang malam sahut-menyahut yang membuatku semakin tak bisa tidur. Walaupun mata ini tak bersahabat, namun kutetap berusaha untuk memejamkannya.
       Disaat jiwa berkelana meninggalkan raga bersama mimpi, tak tau entah mengapa, entah siapa, mulutku dibekam. Seketika saya terbangun dan ingin rasanya berteriak sekuat-kuatnya untuk minta tolong, namun sepertinya sia – sia mulutku masih dalam posisi terkunci dan saya dibawa keluar ruangan. Saya seperti Soekarno yang diculik dan diasingkan, tapi sepertinya saya tidak mengancam sesuatu apapun seperti yang dilakukan Soekarno.
Dibawah sayup sinar rembulan yang malu-malu, saya melihat teman-teman yang lainnya yang lebih dulu jadi korban penculikan Kakak Mentor. Disini saya mulai sadar mungkin ini salah satu agenda BAKSOS kami ini. Saat diluar ruangan saya di beri intruksi oleh kakak mentor  untuk melalui setiap pos yang ada.
‘’POS 1’’,saya diintrogasi dengan pertanyaan-pertanyaan, bukan tak tau jawabannya tapi setiap jawaban yang saya berikan, pertanyaan selanjutnya datang menyergap dengan nada yang lebih tinggi lazimnya menggertak yang membuat nyali jadi ciut untuk menjawabnya. Setelah disajikan pertanyaan-pertanyaan, akhirnya saya di suruh melapor ke  ‘’POS 2”. Saat hendak berlari, kurasakan kakiku sulit rasanya melangkah, kurasakan kakiku mulai kaku.
Udara malam saat ini sepertinya tidak bersahabat, atau mungkin disepertiga malam terakhir ini memang jadwal sang angin untuk unjuk taring.
       Uhh,,,,udara malam yang dingin ditambah lokasi kami dipegunungan yang dikelilingi pohon-pohon yang rindang membuat siapa saja kedinginan. Saya sulit rasanya bernafas namun saya tetap melangkah menuju pos selanjutnya.‘’POS 3’’, tak sanggup lagi rasanya menahan dingin ini yang kurasakan mulai menusuk setiap ruas tulang-tulangku. Sistem sarafku sepertinya tak lagi bisa kukendalikan, jangankan melangkah, bicara saja rasanya mulai sulit kulakukan.
Kali ini, tak sanggup lagi rasanya kumenopang badan ini.Seketika ,saya dibopong dan dituntun kakak mentor keruang perawatan, saya di suruh duduk sejenak sementara kakak mentor sepertinya menyiapkan tempat untuk saya berbaring.
‘’MENGGIGIL”, kali inikurasakan dingin yang tak pernah kurasakan sebelumnya, tulang belakan ku terasa amat nyeri, setiap ruasnya kurasakan mulai longgar.
Tersandar, lututku kusejajarkan dengan badanku dan kepalaku kutundukan di antara lututku, tanganku melipat kedua kakiku menahan dingindan getaran yang semakin membuat rahang atas dan rahang bawa mulutku saling bergesekan .
Dalam posisi ini masih terdengar suara Kakak Mentor yang masih panik karena suhu badanku terus menurun dan aku semakin menggigil. Dalamposisi ini, badanku pun tak bisa di luruskan. Aku mulai berfikir tentang hal yang tidak – tidak ,yang kuingin saat itu hanya ingin bersama Ibuku tak ada yang lain batinku. Air mata membasahi pipi ini, bukan karena menahan sakit ini, tapi tak pernah terbayangkan posisiku saatini dimana saat kita sakit tanpa orang tua. Sakitnya memang tak seberapa, namun tanpa orang tua disisi kita sakitnya lebih membatin mengalahkan sakit apapun yang ada.
      Tak tau apa yang membalut badanku ini,agak tebal yang membuatku sedikit risih tapi kurasakan kehangatan memakainya. Mungkin inijaket yang dipakaikan kakak mentor lirih batinku. Sesekali Kakak Mentor mengulangiku memeriksa kondisiku, mungkin tepatnya dia menjagaku. Karna sejak tadi dia tidak meninggalkan ruangan ini dan kudengar langkahnya hanya empat atau lima langkah saja dari posisiku ini.
        Teriakan penuh semangat melantunkan ‘’Sumpah Mahasiswa’’ dipagi Minggu itu menyentakkanku dari tidurku. Saat terbangun kurasakan badanku masih pegal, tapi aku terhentak melihat apa yang sedang kukenakan yang kuingin setiap orang meyaksikan saya mengenakannya.
Kain yang apabila di lihat oleh setiap orang tua dikenakan oleh anaknya menitikan air mata kebanggaan.
Ya, Kain berwarna hijau, yang merupakan suatu kebanggaan bagi siapa saja yang memakainya.
Kain yang di bagian dada sebelah kirinya terdapat gambar berbentuk bintang berwarna kuning yang di tengahnya berdiri sebuah tugu yang menunjukkan kegagahannya.
Kain yang kancingnya saja bagiku lebih berkilau daripada harta karun yang direbutkan oleh bajak laut yang ceritanya menggelegar
Kain yang  bahkan mimpi pun tak berani meraihnya.
Kain tiga lapis almamater hijau UNIVERSITAS SYIAH KUALA.
Mataku berkaca – kaca melihat almamater ini, tak pernah kubayangkan apabila suatu hari saya memiliki almamater kebanggaan ini, apakah saya rela mengenakannya kepada orang lain.
Tak pernah terbayangkan
Tak pernah terbayangkan
Ku lipat rapi ketiga almamater ini dan kuletakkan di sebuah meja yang yangberada di pojokruangan tempat aku terlelap. Dan aku meninggalkan ruangan ini bergabung dengan teman-teman lainnya yang sudah berkumpul dilapangan.
Kucoba mencari tau siapa pemilik almamater ini, tapi tak pernah tau siapa pemiliknya. Sesekali kuulangi apa almamater ini sudah di ambil pemiliknya, tapi almamater hijau itu masih terlipat rapi di meja itu.

      Kini kumengerti apa itu apa makna dari semua acara ini, bukan suatu hal menakutkan seperti yang orang-orang perbincangkan. Bukan suatu hal yang kata orang merupakan suatu ajang pembalasan. Bukan suatu hal yang sebagian orang mengatakan pengalaman yang paling buruk adalah masa OSPEK jurusan.
Bukan suatu hal yang untuk menghindarinya menyiapkan strategi siasat seribu alasan supaya tidak mengikuti acara ini. Bukan suatu hal mengkwatirkan yang bahkan sudah merambat kedaun telinga para orang tua.
Inilah persepsi yang salah yang masih kita anut, tak pandaikah kita melihatnya dari sudut pandang dari arah yang berbeda.
      Acara ini mengajarkanku memahami satu kata yang yangtak pernah kulupakan. Satu kata yang dengan integritasnya dapat merubah dunia. Satu kata yang menjadikan perbedaan menjadi persamaan. Satu kata yang akan mengikat kita menjadi persaudaraan. Satu kata yang akan merubah dunia menjadi satu.
‘’SOLIDARITAS’’. Ya, kata inilah yang akan mengubah kita semua.
        Kini kubangga berdiri didepan kampus Universitas Syiah Kuala kita ini dengan senyuman dan sebuah benda bulat berwarna putih yang berdiameter sekitar lima senti meter itu tersemat di bagian belakang tas ranselku yang  membuat senyumku terasa semakin indah. Bros ini akan selalu menjadi sahabat ranselku yang akan selalu bersama kemanapun bahu menyandangnya.

  

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

authorMunere veritus fierent cu sed, congue altera mea te, ex clita eripuit evertitur duo. Legendos honestatis ad mel. Legendos honestatis Munere veritus fierent cu sed, congue altera mea te, ex clita eripuit.
Learn More →


Flickr Images