Sepucuk Surat Untuk Ayah

March 07, 2016

Ayah, masih ingatkah Ayah waktu masa-masa aku kecil dulu. Saat aku masih di bangku SD Ayah selalu menyeberangkan aku, si Abang dan Kakak ketepian sungai sebelah dengan sampan terkadang dengan rakit agar kami bisa berangkat kesekolah. Si Adik bungsu selalu menangis supaya ikut sekolah bersama kami. Ibu selalu membujuknya dengan membiarkannya mandi di pinggiran sungai yang dangkal dan itu mencadi jurus maut ibu untuk mengatasi rengekan Adik yang saat itu masih berusia 4 tahunan. Uang jajan Rp.1000 dibagi tiga, jika Abang hari ini mendapat jatah Rp.400 maka besok aku yang mendapat Rp.400 dan besoknya lagi giliran Kakak yang mendapat jajan Rp.400. Tetapi Ayah punya rahasia besar diantara Ibu, Abang dan Kakak. Hanya Ayah dan aku yang tahu, Ayah selalu memberiku uang tambahan jajan Rp.100 secara sembunyi-sembunyi agar Abang dan Kakak tidak tahu. Itu koin keberuntunganku sebelum berangkat kesekolah.
Ayah, dimasa itu aku juga selalu tidur dengan Ayah dan selalu mencium perut Ayah. Meniup perut Ayah sampai mengeluarkan bunyi mirip suara kentut lalu aku, Ayah, Ibu, Abang dan Kakak tertawa berbarengan. Dan Ayah selalu menuduh kalau aku yang kentut. Hal itu selalu aku lakukan setiap menjelang waktu tidur.
Musim turun sawah menjadi hal aku senangi. Kita sekeluarga tidur di pondok di tengah sawah. Tidak ada listrik sama sekali. Hanya ada obor minyak dan api unggun yang Ayah nyalakan di samping pondok agar tidak ada nyamuk dan asapnya masih tetap ada hingga esok paginya. Dan yang paling seru menjadi favoritku disawah saat selepas sholat isya selalu ada sesi sahut-menyahut antara sesama pondok yang satu dengan yang lainnya. Aku selalu berteriak dengan sekuat-kuatnya. Hoooakkk, lalu suara dari pondok lain menyahut pula, hoooakkk, dan aku membalas dengan suara yang lebih keras. Saat aku bertanya kepada Ayah kenapa kita harus teriak-teriak, Ayah mengatakan supaya kita tahu siapa saja yang malam ini tidur di pondok-pondok sawah.
Saat aku mulai remaja. Jarak diantara kita semakin renggang. Saya sering membantah omongan Ayah tetapi Ayah tidak pernah memarahiku atau memukulku. Ayah selalu diam lalu pergi dengan raut muka yang sedih. Disaat ayah pergi Ibu pasti selalu memarahiku habis-habisan dan sesekali mencubitku.
Ayah, aku ingin mengulang masa-masa kecil dengan Ayah. Bersenda gurau dengan Ayah. Mencari buah mangga di saat shubuh supaya tidak keduluan sama Abang dan Kakak. Mencari lokan (kerang) di pinggiran sungai. Mengambil  tebu di dekat pondok sawah Nenek. Lalu saat Nenek melihat serabut tebu yang berceceran Nenek selalu berteriak ada maling,,,ada maling,,, dan ayah mengatakan kepada Nenek kalau aku malingnya. Dan seisi pondok menghakimiku, mulai dari Abang, Kakak, hingga Ibu. Tetapi akhirnya Ayah menjadi hero-ku dengan memelukku dan mengatakan mana mungkin anak Ayah yang item manis ini jadi maling. Anak ayah ini nanti pasti jadi ABRI. Walaupun saat itu aku masih belum tau apa itu ABRI tetapi setiap kali guru menanyaiku di sekolah tentang apa cita-citamu aku selalu menjawab aku ingin menjadi ABRI.
Ayah. Sekarang apa yang terjadi dengan Ibu, Abang, Kakak, si adik yang bungsu juga. Ibu menasehatiku supaya tidak sering-sering menjenguk Ayah. Padahal aku ingin setiap hari bersama Ayah dan bersendau gurau dengan Ayah. Saat selepas sholat jumat misalnya, aku selalu berkunjung kerumah Ayah dan bersendau gurau dengan Ayah hingga sore. Tetapi Ibu datang menyusul dan mengajakku pulang dan meninggalkan Ayah sendirian. Kata Ibu biarkan Ayah tidur nyenyak.
Ayah, bilangin sama Ibu supaya tidak melarangku lagi untuk bertemu dengan Ayah. Mengunjungi rumah ayah. Tetapi Ayah tidak mau mengatakannya kepada Ibu. Ayah dulu selalu berjanji kalau aku dapat nilai 100 disekolah Ayah akan menggendongku dan mengajakku bermain. Kini aku sering mendapat nilai 100 agar Ayah menggendongku dan mengajakku bermain. Aku melihatkannya kepada Ayah tetapi Ayah tidak mau menggendongku dan mengajakku bermain.
Ayah, kata orang aku mulai depresi. Apa yang salah dengan orang-orang Ayah. Apa aku salah menemani dan bersenda gurau dengan Ayah. Bahkan Ayah pun sekarang tidak mau lagi bicara denganku. Tetapi aku selalu datang mengunjungi Ayah.
Saat aku mengajak Ayah bicara Ayah tidak menyahutku sama sekali, disitulah aku menangis tersedu-sedu sambil memeluk batu nisan Ayah.
Ayah, kini aku tumbuh menjadi dewasa ayah. Ayah tidak mau melihatku sekarang ini. Ayah, anakmu yang item manis ini sudah mengerti semuanya. Makna hidup yang sesungguhnya. Aku sudah mengerti kehidupan ini dan Ayah telah pergi di panggil oleh Yang Maha Kuasa. Mungkin esok hari aku juga akan menyusul Ayah. Jika nanti aku dipanggil Tuhan, aku ingin tidur disamping Ayah. Dikuburkan disamping kuburan Ayah. Jadi kita akan tidur nyenyak bersama-sama.
Ayah,
Aku sayang Ayah,
Aku selalu memimpikan Ayah, dalam mimpiku Ayah selalu mengajakku selfie ala anak muda sekarang. Padahal aku tahu kalau Ayah paling tidak mau di foto, bahkan foto untuk KTP saja Ayah dimarah-marahi Ibu dulu baru Ayah mau berfoto.
Setiap sujudku aku selalu mendoakan Ayah semoga Tuhan Memberikan tempat dan membangunkan istana di surga untuk Ayah.

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

authorMunere veritus fierent cu sed, congue altera mea te, ex clita eripuit evertitur duo. Legendos honestatis ad mel. Legendos honestatis Munere veritus fierent cu sed, congue altera mea te, ex clita eripuit.
Learn More →


Flickr Images